Saturday 10 April 2010

Obral


KETIKA semua lembaga penegak hukum sedang mendapat sorotan hebat akibat heboh makelar kasus perpajakan dan karenanya kini bertindak superhati-hati, Mahkamah Agung (MA) justru membuat langkah yang sarat kontroversi.

Dalam putusannya Selasa (6/4), Majelis Peninjauan Kembali MA malah mengurangi hukuman Artalyta Suryani, yang akrab disapa Ayin, dari sebelumnya divonis lima tahun menjadi empat tahun enam bulan.


Namun, putusan Majelis PK MA yang terdiri dari Djoko Sarwoko (ketua), dengan anggota Hatta Ali, Krisna Harahap, Sofyan Martabaya, dan Imam Hariyadi, tidak bulat.

Hakim agung Krisna Harahap memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Krishna, PK yang diajukan Ayin melalui kuasa hukumnya semestinya tidak dapat diterima MA.

Putusan di tingkat PK ini jelas melembek. Sebab di tingkat kasasi sebelumnya majelis hakim--dengan susunan hakim agung yang berbeda--telah menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Tipikor yang menghukum Artalyta lima tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider lima bulan kurungan.

Apalagi, Artalyta sebelumnya sempat tersandung oleh fasilitas mewah yang dipergoki Satgas Pemberantasan Mafia Hukum ketika melakukan inspeksi mendadak ke Rutan Pondok Bambu, beberapa waktu lalu.

Karena itu, langkah MA memberikan remisi kepada Ayin tidak saja mengundang kritikan, tapi juga cibiran. Rasa keadilan, perkara yang masih sulit diwujudkan di Republik ini, kian tercabik-cabik.

Artalyta memang bukan orang pertama yang mendapat keringanan hukuman. Mahkamah Agung ternyata sudah sejak lama kerap mengobral remisi bagi para koruptor.

Sebut saja, misalnya, Burhanuddin Abdullah dalam kasus aliran dana Bank Indonesia. Mantan Gubernur BI itu hukumannya berkurang dari lima tahun enam bulan menjadi tiga tahun. Untuk Irawady Joenoes, dalam kasus pengadaan lahan gedung Komisi Yudisial, hukuman dikorting dari delapan tahun menjadi enam tahun.

Itu sebabnya pemberian keringanan hukuman oleh MA tidak hanya mencerminkan langkah yang kontradiktif, tetapi juga menunjukkan betapa lemahnya koordinasi antarlembaga negara dalam upaya pemberantasan korupsi.

Ironisnya lagi, tabiat buruk obral remisi tak cuma milik MA. Pemerintah pun kerap melakukan hal serupa. Tengoklah, misalnya, pemberian remisi pada saat hari-hari besar dirayakan.

Bukan hanya itu. Peraturan Pemerintah Nomor 28/2006, yang diberlakukan pada 2007, juga masih mengatur pemberian remisi bagi terpidana bila telah menjalani sepertiga masa tahanannya dari sebelumnya enam bulan.

Peraturan pemerintah itu, dan juga berbagai bentuk pemberian remisi lainnya, jelas bertolak belakang dengan asas penjeraan dan harus dimasukkan sebagai judicial corruption.

Itu jika korupsi, terorisme, narkoba, dan pembalakan liar benar-benar dianggap dan diperlakukan sebagai sebuah kejahatan luar biasa. Bila tidak, obral remisi hanya akan menjadi pupuk untuk menyuburkan korupsi. Dan itu sangat melukai nurani rakyat.

Dari sini

No comments: